Senin, 18 Januari 2010

Peach

Peach
Oleh: Amee Widjaja

”Bu, lusa aku wisuda..”
Hening..
”Aku harap ibu bisa menemaniku..”
Bisu..
Hanya semilir angin yang menjawab pertanyaanku..
Dari 15 menit yang lalu aku membujuknya, tapi masih tak ada jawaban. Ia tetap tidak bergeming di kursinya, matanya menatap lurus ke luar jendela, kosong. bibirnya terkatup. Matanya cekung. Kebencian telah menggerogoti tubuhnya hingga kering. Aku tak tahu mengapa ia sediam ini padaku. Entah karena kepergian ayahku, atau ia yang yang terlalu membenciku.
Aku berlutut menghadap kearahnya. Tahukah kamu, ibu? bukan kamu saja yang bersedih atas perginya ayah. Aku juga! Aku malah hampir tidak tahu bagaimana rasanya bangkit. Tapi lusa adalah wisudaku. Setiap mahasiswa hadir dengan keluarganya. Dan aku berharap ada yang membetulkan togaku jika saat toga yang kupakai miring, juga ada yang menyanggul rambutku saat aku berangkat nanti. Jangan diam, bu! Tolong….
”Aku benci padamu..” Kata-kata itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya setelah 1 bulan ia bungkam, setelah 1 bulan saat kepergian ayah.
Aku tidak terkejut, telingaku sudah terbiasa mendengar perkataan itu dari mulutnya. Tangannya mengepal, tatapan mata yang tadinya kosong sekarang berubah menjadi penuh amarah, giginya gemeretak seakan mengutuk. Perlahan-lahan rinai megalir dari pelupuk matanya..
“Aku sudah tahu.” Jawabku lirih.
“Kenapa Danang yang pergi.. kenapa bukan kamu saja..!!” Ia berteriak namun suaranya agak serak.
Beribu sembilu seolah menohok jantungku, nyeri.
“Seandainya bisa..aku akan menggantikan ayah”. jawabku hambar, tenggorokanku terasa kelu.
”Semuanya karena kamu..karena kamu..karena kamu!!”. Ibu berteriak lagi seperti kesetanan, ia terus menyalahkanku atas kepergian ayah. Tangannya yang kurus meraih vas bunga di meja lalu membantingnya ke lantai. Pecahannya mengenai pipiku. Kusentuh wajahku, berdarah..
”Wajahku terluka, bu..” kataku seolah mengadu.
”Jangan panggil aku ibu! Aku benci mendengarnya.. pergi kamu!!”Teriakannya semakin lantang namun gersang.
Aku membersihkan pecahan vas di lantai, hingga bersih.. hingga tak ada lagi pecahan yang kalau-kalau bisa terinjak oleh ibu.
Ia kembali duduk di kursi koyangnya, kembali diam, menatap langit di luar jendela, hujan besar disambut petir. Seperti hatiku kini.

Bagian 2

Langit masih gelap, namun aku telah selesai mandi dan bersiap. Hari ini aku akan diwisuda. 4 tahun sudah kulewati masa kuliah. Kemarin seusai pulang kerja paruh waktu, aku menyempatkan diri untuk membeli 2 kain kebaya dari uang tabunganku. Satu berwarna kuning dan satu lagi berwarna peach. Yang warna kuning untukku dan yang warna peach untuk.... ibu. Kupikir warna ini cocok untuknya. Peach, warna senja saat merekah. Warna yang akan membuat damai yang melihatnya. Warna kesukaan ibu..
Aku mulai merias wajahku seadanya, wajahku dengan guratan luka di pipi. Kututupi dengan bedak, meski agak perih..tapi biarlah. Kupandangi foto ayah di meja. Cukup lama..
”Hari ini aku wisuda ayah..” ucapku dalam hati. batinku seolah mengekang rinai di telaga mata.

Ibu masih berada di dalam kamar, kuletakkan selembar surat dan setangkai mawar putih di meja jahitnya, lalu menggantungkan kebaya berwarna peach ini di depan kamarnya. Selama 1 tahun terakhir, aku selalu melakukan hal ini. Meletakkan mawar putih di meja jahitnya sebelum aku berangkat kuliah, lalu saat pulang kuliah aku selalu menemukan setangkai mawar putih itu di tempat sampah. Walau begitu, aku tidak pernah menyerah.. aku selalu mencintainya, meski aku tidak lahir dari rahimnya, dan sampai kapanpun..aku akan tetap memanggilnya ibu.
“Aku berangkat, bu..” Kuketuk pintu kamarnya, tak ada jawaban.

Pukul 08.00, aku tiba di gedung pelantikan. Gedung sudah terisi ramai dengan orang-orang. Aku menempati tempat duduk paling pinggir, dekat pintu. Agar aku bisa langsung melihat ibuku jika ia datang. Para mahasiswa telah rapi di tempat duduknya masing-masing. Salam, Doa, dan pembukaan. Kemudian satu persatu nama mulai disebutkan untuk maju ke atas panggung, diberi penghargaan dan penyerahan piagam.
Gundah, sebentar lagi namaku dipanggil. Berulang kali kutenggokkan kepalaku ke luar, berharap ada wanita berkebaya peach datang.
”Kenapa kamu tidak bisa bersikap khidmat,ini acara penting!” tegur seseorang di sampingku, ia teman satu angkatanku.
”Aku menunggu ibuku.” Jawabku singkat sambil terus melongokkan kepala ke luar ruangan.
”Ibumu yang gila itu?” Katanya sambil memicingkan mata.
Aku jadi ingat kejadian 1 bulan yang lalu, saat kematian ayah. Ibu tiba-tiba datang ke kampus, lalu berteriak-teriak mencaciku di depan teman-temanku. Tidak heran jika semua temanku mengatakan ibu gila.
Aku hanya terdiam menanggapinya, lalu kembali melongok ke luar, menanti wanita berkebaya peach. Aku berharap dan terus menunggu keajaiban, meski aku tahu ibuku tidak mungkin datang. Pasti ia sekarang ia sedang duduk di kursi goyangnya sembari menatap embun yang menetas di kaca jendela kamarnya. Dan Mungkin namaku sudah tidak tercantum lagi di memori otaknya.
”Hei, namamu dipanggil tuh!” kata orang itu lagi. Aku tersadar. Ya! Namaku sudah dipanggil.
Aku naik ke atas panggung. Menerima piagam penghargaan, difoto, dan bersalaman. Wisudaku akhirnya selesai!

Aku duduk sendiri di pelataran, lesu..
“Hei kak..!” aku menoleh. Adik kelasku memanggilku kemudian ia duduk disampingku.
”Tadi aku seperti melihat ibumu?” katanya.
”Ah?” Aku terperangah..
”Tadi aku melihatnya di loby gedung. Aku menyuruhnya masuk ke ruangan wisuda, tapi ia diam saja dan tidak mau beranjak..” kata adik kelasku.
Mustahil!
Mungkinkah itu ibu? Mungkinkah ibu mau datang ke acara wisudaku? Mungkinkah ia membaca suratku tadi pagi lalu datang kesini?
Mungkinkah?...
“Apakah dia memakai kebaya? Apa warnanya?” Tanyaku serius.
“Peach.”

#

Rabu, 06 Januari 2010

KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA PENGEMIS, LALU KALIAN PAKSA KAMI ..MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,

Kalian bersengaja menjerumuskan kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar jadi
Kalian paksa-tekankan budaya berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis lagi
Karena rendah diri pada bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga diri kita
Digantung di etalase kantor Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan Australia
Mereka negara multi-kolonialis dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Dalam upacara masuk masa penjajahan lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh harmoni
Mereka mengerkah kepala kita bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat asam
Beratus juta kita menggelepar menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi begini
Sepatutnya kalian kami giring ke lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami cambuk dengan puisi ini