Sabtu, 18 Desember 2010

CUCUR, curahan hati yang sedang hancur..

kenapa takdir menulis laut dengan ombak yang kencang?

Sementara angin bukanlah pelipur, dan aku mabuk pada buih-buih..

Takdir yang kucibir tak pernah mau bicara, ia bisu pada kediamannya.

Ia tetap tak mau tahu, meski aku telah menunggu untuk sebuah penjelasan tentang perjalanan yag telah kulewati, tentang pulang pergi pada sesak yang hampir tidak dapat lagi kurasakan, tentang sesayup orangorang yang gundah dan sinis terhadap wajah-wajah yang melihatnya, tentang apa yang terbaring di sebelahku, tentang….semuanya.

Aku meminta penjelasan. Kenapa desember ini tidak seperti yang kutunggu, sangat lain dengan lagu2 ceria yang berjudul desember.

Desember ini suram seperti laut yang melarat, miskin dengan sesuatu yang berbau manis, bahkan angin pun bergaram.

aku bisa saja tertawa dengan segenggam permenpermen yang membawaku untuk melupakan. Namun sendiriku tak pernah bisa mengobati apapun.

Aku seperti bermain tennis, apa yang kupukul selalu kembali lagi. Tidak sekalipun kudapati jawaban. Meski telah kududuki senja bejam-jam hingga warnanya kemerahan, meski purnama tidak terlihat lagi, dan mata ini tertidur untuk kesekian.

Namun takdir tidak pernah tidur, ia berjalan dua puluh empat jam. Takdir menjalani rutinitasnya yang bahkan mungkin takdir sendiripun tak mengerti kenapa takdir disebut takdir. Kenapa kau disebut kau, kenapa aku disebut aku. Selalu ada pertanyaan kenapa tentang hidup yang kita jalani.tidak! mungkin aku saja! Bukan kita!

Mungkin hanya aku yang merasa seperti ini, karena orang lain pun biasa saja.

Mungkin juga mereka adalah orang-orang yang sama denganku :bersembunyi.

Bersembunyi dari raut wajah sedihnya karena kesepian, namun tidak lagi ketika mereka di tempat ramai, karena dituntut oleh interaksi-interaksi yang tidak begitu penting sebenarnya: TERTAWA, MAKAN, TERTAWA LAGI, MAKAN LAGI..!

Ah, seandainya saja benar2 dapat kumaknai perjamuan dan perjumpaan itu dengan orang-orang lain, dengan interaksi-interaksi yang tidak begitu penting.

Karena selama ini, perbincangan hanya bermakana sebagai dialog 2 orang, atau lebih, ada yang bertanya akan kujawab, jika senggang akan kutanya balik. Namun itu saja. Tidak pernah ada makna atau siratan yang lebih dari itu. Aku hanya merasa kesepian, itu saja! Tidak lebih!

Bahkan pemandangan lalu lalang kadang kuanggap sebagai gurun pasir kering. Sementara debu adalah ornamen yang tidak pernah lepas dari hidup. Aku, bahkan debu sekecil apapun tidak pernah menyatu.

AKU RIDU JATUH CINTA

AKU RIDU JATUH CINTA

Aku rindu jatuh cinta!

Wahai kau yang belum dijatuhi hatinya,

Hinggapilah kelopakku hingga terjaga seperti matahari yang menguning.

Karena aku ingin dicintai paling, bukan untuk dipalingi.

Melelehlah di pundakku yang kelaparan

Berceritalah tentang masa lalu yang tidak pernah aku tahu.

Akan aku dengarkan!

Karena telah lama sunyi mengerubungi gendang-gendang telingaku, sampai sulit kubedakan mana yang benar-benar sunyi.

Apakah hati? Apakah sekeliling?

Bahkan akan kuhitung berapa kali kau menghela napas saat mengucapkan satu kaliat, satu bait, atau satu alinea

Akan kusirami madu jika rayap-rayap mulai melelahimu,

Memisahkanmu pada daya yang luar biasa hingga kau akan terus melepas pikiranmu, dan bertukarnya dengan dongeng-dongen buatanku.

Lalu pada suatu kapan, sesuatu akan mulai terkoneksi seperti hubungan arus deras energi-energi listrik, anatara sesiapa kita.

Hingga tidak perlu lagi aku menghabiskan hari-hariku sendiri di ruang tunggu.

Karena kau akan datang seperti detak-detak jam yang sama-sama kesepian.

Lalu kita melumasi karat-karat waktu perjalanan dengan nasib yang sama : Rindu Jatuh Cinta!

November 2010