Senin, 25 Oktober 2010

Mari kita memahami BAKAT ITU APA ???

Di blog ini gue berusaha terbuka, terbuka seterbuka-bukanya, seenggkanya sama diri gue sendiri. sukur2 kalo ada orang yang sudi buka blog gue terus DIBACA. Soalnya ada temen gue yang buka blog gue. Pas liat kalimat pertama udah ketawa, bukan ketawa karena terhibur tapi ketawa jijik dan akhirnya dia langsung nutup blog gue. Alahmdulillah kalau gitu, rahasia gue gak jadi kebongkar.

Btw, Gue pengen cerita nih, jadi gini..

Waktu itu gue lagi berangkat kuliah naek busway, trus nyampe deh dikampus.

Nah, gimana? sedih kan cerita gue..

Gue aja ampe mau nangis gara2 cerita ini.

Setiap orang pasti punya cerita, dan pasti punya bakat. Ih, emang bakat apaan sih, setau gue bakat itu adalah bawaan lahir, kaya misalnya tahi lalat. Eh, itu bakat apa bukan ya… terserah deh, yang penting bakat.

Jadi ceritanya waktu sd gue bakat gambar, sebenrnya bukan bakat juga sih, Cuma gambar gue yang kelihatan lebih agak mending dibanding temen2 sekelas gue. Gue yakin sebenenya sih mereka bisa. Wong Cuma disuruh gambar rumah doang (kalo anak sd gambar rumah paling segitiga trus ditumpuk sama persegi).

Tapi mereka mungkin gak selera sama pelajaran kertakes (dulu.. tahun berapa gitu..gue lupa, seni rupa disebutnya kertakes). Nah akhirnya mereka pada minta gambarin gue. Awalnya Cuma temen sebangku sama temen yang didepan gue. Eh lama kelamaan jadi go public. Sampe temen2 ssekelas, sampe kepala sekolah juga ikutan minta gambarin rumah. Wkwk

Demikianlah, cerita gue yang gak penting itu. Huee..

Waktu gue sd juga lumayan bandel, bukannya bangga nih tapi gue pernah nangisin anak cowok, tuh anak gue lempar pake pengghapus papan tulis trus matanya keruntuhan kapur(maklum, masih pake kapur), dan dia pun nagis tersedu-sedu sambil memukul2 bantal kemudian meratap memandangi foto bang doel (loh..) Gue lupa gara2nya kenapa gue ngelemparr tuh anak pake penghapus papan tulis, tapi gue masih inget namanya albert, orang cina tapi agak idiot. Hahaha..

Sampe sekarang gue masih merasa bersalahn sama Albert, gue janji kalo suatu hari gue ketemu dia gue akan sujud bersimpuh di kakinya. Hha Lebbbay.. duh,,sori ya bret..

Gue juga masih punya satu bakat lagi, yaitu bakat pelupa.

Jadi, Waktu kelas 6 SD gue udah dipercaya jadi juru kunci lemari Pak guru namanya Pak Joni. Orangnya item, gede, berbulu, kalo dia lewat bau kemenyan (lah, itu orang apa setan..!?). tiap pagi gue mesti ngerapihin meja guru, dengan gue kasih taplak, pot bunga, satu box kapur, bantal, dan guling, juga dilengkapi dengan seribu tangkai mawar merah (kaya kasur penganten baru). Nah, hambatannya adalah gue adalah orang yang pelupa dan mempunyai kelemahan pada otak kanan, kiri, tengah, atas, dan bawah. Memori Otak gue ini mungkin udah kebanyakan keisi sama film Marimar yang disetel nyokap gue setiap gue pulang sekolah. Jadi kadang gue susah bedain antara muka Pak Jhoni sama muka Bulgoso.

Dengan bakat pelupa gue itu, gue suka lupa bawa kunci lemarinya ke sekolah, sekalinya gak lupa pasti gue terlambat. Alhasil, pak jHony udah stand by di depan meja dengan meja yang kosong melompong. Dan saat gue masuk kelas, dia langsung melotot, kuku-kukunya meruncing, hidungnya mengepul asap, dan gue pun mengeluarkan selembar kain berwarna merah, gue kibask2kan kea rah pak Jhony, teman2 gue pun memberi dukungan. Pak Jhony ambil ancang2 buat nyeruduk gue. Dan gue merasa jadi matador paling keren kala itu.

gue pun memasuki kelas dengan penuh rasa takut. Dengan tangan yang gemetar gue bilang “Ma-maaf pak, saya telat, dan sa-saya ju-juga lu-lupa ba-bawa kun-kunci lemari”. Tanpa sadar air seni pun mengalir deras dari dalam rok gue.(enggak deng).

Layaknya di film2, Pak JHony berkacak pinggang lalu melinting-linting kumisnya yang lebat “Dimana rumah kamu?” Katanya dengan suara seperti Buto Ijo.

“Di Kapuk Pak”. Jawab gue sok imut. Pak Jhony masih melotot.

“Ah itu sih deket! Yaudah sana pulang ambil kuncinya!”

WHATT??!!

Dari situ gue tahu bahwa Pak Jhony benar-benar serigala berbulu kingkong, gak Cuma tampangnya yang serem, tapi hatinya juga gak punya rasa belas kasihan kepada muridnya yang baik hati dan imut ini.

Dan belakangan gue tahu, bahwa kuncinya gak ketinggalan di rumah, tapi hilang! Mungkin jatuh di jalan! Gak kebayang gimana reaksi Pak Jhony, mungkin dia bakal ngegantung gue di tiang bendera sekolah.

***

Kamis, 21 Oktober 2010

kamis menangis

oh my God.. sepertinya kamis menangis akan terulang kali.
harii kamis yang penuh dengan kuliah2, sementara perut lapar dan mata mengantuk.. dan sorenya saya mesti ngajar di benhil sampai malam.
oh oh oh kuatkan.. ~,~

Rabu, 20 Oktober 2010

ketika Zainab patah hati

oh..nasib..
kadang gue merasa seperti zainab yang ditolak bang doel.
bang doel yang lebih memilih mencintai sarah (yang lipstiknya lebih menor) ketimbang zainab yang cuma sibuk di kursus menjahit. sarah yang rumahnya gedongan ketimbang zainab yang rumahnya di kampung, sarah yang punya mobil BMW ketimbang zainab yang kemana-mana cuma jalan kaki.
ok.. ok.. mungkin dibalik itu semua, ada alasan yang lebih penting kenapa bang doel milih sarah, mungkin bng doel lebih mendapatkan chemistry kalo sama sarah, dan mungkin juga sarah lebih berani untuk mengekspresikan perasaannya ketimbang zainab yang cuma bisa mendem cintanya diantara lapisan-lapisan kapuk bantalnya sembari menangis dan memandangi foto bang doel yang bertahi lalat besar di hidungnya. zainab cuma bisa memendam cintanya sendirian di kamarnya, dan sehabis menangis biasanya dia menyisir rambut. sedangkan gue, sehabis menangis biasanya langsung menyisir bulu ketek yang sudah sangat lebat dan tak terurus.
mungkin gue memang ditakdirkan menjadi zainab yang jatuh cinta sendirian di kamarnya sembari menggambar sang pujaan hati. hanya dengan menggambar, ya hanya dengan menggambar.. seolah-olah zainab merasa bahwa cintanyalah yang paling dalam. dan ketika bang doel memilih sarah, zainab seolah tak bisa menggambar lagi. huhuhuhu.. cihhh,.. mamam tuh bang doel!

Minggu, 03 Oktober 2010

BIKIN CERPEN



Lukisan Jingga

Setangkup cat tak mampu melengkapkan segalanya. ada yang kurang, ada yang kosong seperti alunan tangga nada tanpa nada "do" atau tanpa nada "re". Seperti sepaket lembaran surat cinta tanpa nama. Seperti drama spektakuler tanpa tokoh utama. Lukisan itu tak pernah punya nyawa!
Sekalipun warna menjadi daya pemanis antara jembatan hati dan rasa-antara yang tersirat dan tersurat.
Kamu pun telah jungkir balik meramu pencampuran antara pikiran dan perasaan-meleburnya menjadi satu bagian-memporakporandakan alam lamunan yang absurd tanpa sepasang inisial yang diletakkan di bawah telaga.
Kamu seperti terjebak pada permainan khayal yang kamu cipta.
Magis sekali terasa ketika kamu sapukan kuas pada kanvasmu, seolah telah kamu muntahkan seluruh pendam pada goresan, seluruh kagum pada alibi keindahan.

Namun lagi-lagi ada yang kurang...
Hingga akhirnya kamu tersadar bahwa kamu telah kehilangan esensi yang paling berharga, kamu tidak mendapati wujud yang nyata pada objektivitasmu-sesosok subjek yang melekat pada permainan gradasi dan intuisi di kanvasmu-kamu tidak memilikinya!
Kamu yang mendamba untuk merasa, tapi tidak mengalami.
Hingga senja yang membuatmu menunggu di atap-atap studio. berupaya mencari nama di memori sel-sel otakmu. Nihil! kamu tetap tidak menemukan apa-apa. Bahkan kamu tidak merasakan jantungmu berdegup lebih cepat, atau desiran darahmu yang mengalir lebih kuat. Normal, semuanya berjalan wajar.

Sampai kamu kembali tepat di depan lukisanmu, merenungi apa yang alpa, menelusur jauh imajinasimu, mengingat-ingat apa yang hilang.. meski kamu sadari bahwa kamu tengah sendirian.

Meramulah kamu kembali, membagi warna setetes demi setetes, membagi antara yang terang dan temaram, menakar dengan teliti seperti mengerjakan soal aljabar dengan rumus kali bagi..meski dalam hati sebenarnya kamu tahu bahwa “dalam seni tidak ada formula yang pasti”.

Dan kamu seperti berada pada ruang tertutup dengan kaca riben, kamu terbatasi oleh sekat yang tak dapat ditembus. Meski kamu bisa leluasa memandangi mereka, namun mereka tidak bisa mendapati wujud kamu. Bumi berevolusi, mengganti musimnya. Bumi pula berotasi, mengganti siang dan malamnya, namun kamu masih sendiri, masih saja di tempatmu dengan perasaan gamang. Dengan terbahak dan isakan yang datar . dan mungkin kamu telah ‘mati’ seperti lukisanmu.

Seperti apa yang pernah kamu bilang, bahwa hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, termasuk pikiran dan segala alam khayalanmu tentang duniamu sendiri. Dunia yang selama ini hanya kamu yang dapat menempati. Kamu lupa bahwa yang paling utama adalah penjiwaan pada karyamu..

”Usai sudah semua yang telah kutempuh, pada suatu perjalanan di sore hari, dimana aku membawa segenggam pengharapan pada tangan kananku dan seonggok kelelahan di jinjingan tangan kiriku.” katamu pada nafas yang tersengal-sengal. Kamu berbicara sendiri. Bukan! Kamu bebicara pada udara abu-abu, campuran antara oksigen, nitrogen, karbon dioksida, dan kandungan jenis zat kimia lainnya.

Tapi sia-sia, karena udara bukanlah makhluk hidup yang dapat diajak bicara, ia hanya dapat menerima secara halus segala keluh kesahmu, sangat halus hingga kamu merasa pundi-pundi sayapnya mengelus tenggorokanmu yang kering dan pita suaramu yang parau. Kamu merasa nyaman namun ada kalanya gundah. Saat keyakinanmu tak mencapai bukit yang ingin kamu daki, dan kemampuanmu hanya sebatas melangkah.

Kamu sedikit merasa terpuaskan untuk itu, kamu tersenyum ketir, matamu berair, separuh lukamu telah mengering dan separuhnya masih membasah di atas sandaran yang kamu tumpangi.

Kamu membaca lagi hatimu, menelisir dan menerjemah segala sesak di persengalan gulana. Kamu akhirnya tidak lagi menjadi datar, namun telah melelah pada goresan yang kesekian ribuan kali.

Kamu telah lama sadar, bahwa segala yang terbentuk di bumi tidak menjadi sia-sia, namun kamu berpaling pada sesuatu yang nyata dan memilih untuk meniduri mimpi indahmu.

Hingga pada suatu pagi, kamu bangun kesiangan. Tergesa-gesa kamu membereskan peralatanmu, dan membawanya pada satu rangkulan di pundakmu. Kuas, cat, dan lukisanmu. Tidak tertinggal untuk ketiganya. Kamu memperlakukannya seperti anakmu sendiri. Memandikan, meninabobokan, bahkan menyusui umpamanya.

Berjalanlah kamu pada setapak yang diselingi taman. Sesungging senyum mengulum di bibirmu, memerah, meski tidak terlalu berseri namun tidak juga suram. Matamu sedikit sembab bekas semalam. Menangis lantaran takdirmu yang harus kamu terima dengan lapang dada, hingga semalaman kamu tertidur di lantai studio, mengelus lukisanmu dengan kuku-kuku jarimu yang pucat, mengantarkanmu pada mimpi yang menenangkan, dimana segalanya telah berwarna jingga. Dinding-dinding yang berwarna jingga, lantai yang berwarna jingga, bahkan rambutmu berwarna jingga. ”Apakah ini jingga yang kucari?” katamu dalam mimpi. Lalu pada mimpimu, kamu temukan pelangi. Pelangi dengan tujuh warna gradasi. Dari jingga muda hingga jingga tua. Lama kamu memandang, meresapnya pada matamu yang diam. ”Benarlah ini jingga yang kucari!” Katamu kembali. Lalu tiba-tiba kamu melihat lukisanmu melayang diatas ubun-ubunmu, lukisan yang kamu raba sampai habis daya matamu membuka menahan kantuk. Kepalamu menengadah, lukisanmu tersenyum. Lukisan yang telah kamu ramu sedemikian rupa pada perjalanan siang dan malam. Dan Pelangi Jingga yang kamu lihat tadi telah meleleh secara perlahan di atas lukisanmu.

Kamu terbangun seketika, merapikan rambutmu dan mengucak-ngucak mata. Bergegas memulai perjalananmu lagi dengan sepaket perlengkapanmu. termasuk lukisanmu yang tergeletak di pojok studio, dan telah kamu bungkus secara apik kemudian kamu rangkul di bahumu. Kini telah berbeda pandanganmu. Untuk sekali dalam hidupmu kamu merasakan kelegaan yang luar biasa, ada lautan rasa yang diporakporandakan oleh gelombang kebahagiaan. Lukisan itu telah menempati ruang pada makna yang begitu dalam. Ini adalah bagian pengorbanan yang kamu lakukan sepenuh hati. Ada sesuatu yang kamu berikan tanpa pamrih.

Kemudian kamu mulai perjalanmu menuju ke sebuah rumah di pinggir kota. Rumah berpagar bata merah dan tembok dengan cat yang masih kemilau warnanya. Kamu masuki pekarangan rumah itu, berjalan diantara rerumputan hijau yang seolah semuanya menyambut hangat kedatangan kamu dan lukisanmu. Kamu ketuk pintunya yang berwarna coklat tua, tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu. Seorang wanita, yang juga sahabatmu. Persahabatan yang telah mengikat kalian, ibarat sepasang pengantin yang keduanya wanita. Sahabat seumur hidupmu. Wanita itu tersenyum lalu memanggil lelakinya ke dalam rumah. Lelaki yang juga selama ini berdiam lama di ruang khusus pada pikiran, perasaan dan dunia lamunanmu. Lelaki yang diam-diam kamu maknai keberadaannya, yang kamu puja di setiap perayaan upacara sebelum tidur, saat sarapan, saat sikat gigi, saat naik bus, dan saat kamu merancang formula dahsyat untuk sebuah mahakarya. Kamu tidak pernah melepaskannya sedikitpun, meski kamu sadar, bahwa kamu hanya jatuh cinta sendirian.

Sesaat kemudian, mereka berdua telah berada tepat di ambang pintu. Menyambutmu dengan senyum yang paling lebar.

”Lukisan kalian telah jadi.” Katamu sembari memberikan lukisan yang kamu rangkul di bahumu kepada mereka. Sejurus, kalian membuka kain penutup lukisannya dan takjub melihat diri kalian sendiri pada kanvas yang terlumur cat. Si wanita langsung menutup mulutnya karena terkejut. Matanya berkaca-kaca. Lama kalian memandang diri kalian sendiri, lalu kembali memandangku yang masih berdiri di ambang pintu.

”Terima Kasih” Ucap lelaki itu pelan namun dalam dengan senyum yang mengembang.

Mereka adalah pasangan yang paling berbahagia saat itu. Sementara kamu.. kamu telah berhasil menjadi pemenang untuk pertandingan ini, pertandingan antara kamu dan hatimu yang telah lama terbelenggu oleh sebuah rasa yang tidak pernah kamu wujudkan keberadaannya. Tapi, setidaknya kamu bisa memberi penghargaan pada dirimu sendiri, dan mematri dalam hati bahwa akhirnya harus ada yang dilepas untuk pengantin wanitamu. Karena setangkup cat kini telah mampu melengkapkan segalanya.

###

Sabtu, 02 Oktober 2010

TUGAS BIOGRAFI




Asmi Norma Wijaya : Amateur artist

Have you ever dreamed to be a successful artist and famous authors ? I am trying to fulfill that dreams.
I was born in Jakarta, 20 January 1990. I live at Jakarta with my family and my nephew. I have two brothers and three sisters. I am the last one in my family, but I always try to be independent girl who finished my project without other. I rented a boarding house in the area Rawamangun, because the distance from home to campus a bit far.

At the first time I know about education from my family. My Parents teach me about anything, reading, writing, calculating, and drawing. from childhood I've love to draw. My elementary school is at SDN Kedaung Kaliangke 14, and my junior school at SLTPN 100. At 2005, I school at 33 Senior High School. At here, I start to know about art from my art teacher. I start to learn about art, drawing, painting, make a statue, and many more. Now, I’m learning about visual Art at State University of Jakarta.

When the free time I like listening to music while writing short stories. I was impressed with the work of writing goddess Dewi Lestari. She is my inspiration. she's a writer that is still the word with great ability. Someday, I want to be like her.
I like to travel by bus at night, reflect and think about my life and my future. and fatigue caused by my activities throughout the day will be reduced slightly.
After collage, I go to teach private at Bendungan Hilir. I also like teaching.

Someday, I also want to be a famous painter and I want to live in Jogja and the open gallery of paintings there. Oh.. Will my dreams come true?? I hope so.
Today i encourages other, especially children, to study about art.
My life example teaches us to follow our dreams, no matter how great!

Jumat, 01 Oktober 2010

mmoo!!!



i like drawing
i like painting
i like to be different.