Minggu, 03 Oktober 2010

BIKIN CERPEN



Lukisan Jingga

Setangkup cat tak mampu melengkapkan segalanya. ada yang kurang, ada yang kosong seperti alunan tangga nada tanpa nada "do" atau tanpa nada "re". Seperti sepaket lembaran surat cinta tanpa nama. Seperti drama spektakuler tanpa tokoh utama. Lukisan itu tak pernah punya nyawa!
Sekalipun warna menjadi daya pemanis antara jembatan hati dan rasa-antara yang tersirat dan tersurat.
Kamu pun telah jungkir balik meramu pencampuran antara pikiran dan perasaan-meleburnya menjadi satu bagian-memporakporandakan alam lamunan yang absurd tanpa sepasang inisial yang diletakkan di bawah telaga.
Kamu seperti terjebak pada permainan khayal yang kamu cipta.
Magis sekali terasa ketika kamu sapukan kuas pada kanvasmu, seolah telah kamu muntahkan seluruh pendam pada goresan, seluruh kagum pada alibi keindahan.

Namun lagi-lagi ada yang kurang...
Hingga akhirnya kamu tersadar bahwa kamu telah kehilangan esensi yang paling berharga, kamu tidak mendapati wujud yang nyata pada objektivitasmu-sesosok subjek yang melekat pada permainan gradasi dan intuisi di kanvasmu-kamu tidak memilikinya!
Kamu yang mendamba untuk merasa, tapi tidak mengalami.
Hingga senja yang membuatmu menunggu di atap-atap studio. berupaya mencari nama di memori sel-sel otakmu. Nihil! kamu tetap tidak menemukan apa-apa. Bahkan kamu tidak merasakan jantungmu berdegup lebih cepat, atau desiran darahmu yang mengalir lebih kuat. Normal, semuanya berjalan wajar.

Sampai kamu kembali tepat di depan lukisanmu, merenungi apa yang alpa, menelusur jauh imajinasimu, mengingat-ingat apa yang hilang.. meski kamu sadari bahwa kamu tengah sendirian.

Meramulah kamu kembali, membagi warna setetes demi setetes, membagi antara yang terang dan temaram, menakar dengan teliti seperti mengerjakan soal aljabar dengan rumus kali bagi..meski dalam hati sebenarnya kamu tahu bahwa “dalam seni tidak ada formula yang pasti”.

Dan kamu seperti berada pada ruang tertutup dengan kaca riben, kamu terbatasi oleh sekat yang tak dapat ditembus. Meski kamu bisa leluasa memandangi mereka, namun mereka tidak bisa mendapati wujud kamu. Bumi berevolusi, mengganti musimnya. Bumi pula berotasi, mengganti siang dan malamnya, namun kamu masih sendiri, masih saja di tempatmu dengan perasaan gamang. Dengan terbahak dan isakan yang datar . dan mungkin kamu telah ‘mati’ seperti lukisanmu.

Seperti apa yang pernah kamu bilang, bahwa hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, termasuk pikiran dan segala alam khayalanmu tentang duniamu sendiri. Dunia yang selama ini hanya kamu yang dapat menempati. Kamu lupa bahwa yang paling utama adalah penjiwaan pada karyamu..

”Usai sudah semua yang telah kutempuh, pada suatu perjalanan di sore hari, dimana aku membawa segenggam pengharapan pada tangan kananku dan seonggok kelelahan di jinjingan tangan kiriku.” katamu pada nafas yang tersengal-sengal. Kamu berbicara sendiri. Bukan! Kamu bebicara pada udara abu-abu, campuran antara oksigen, nitrogen, karbon dioksida, dan kandungan jenis zat kimia lainnya.

Tapi sia-sia, karena udara bukanlah makhluk hidup yang dapat diajak bicara, ia hanya dapat menerima secara halus segala keluh kesahmu, sangat halus hingga kamu merasa pundi-pundi sayapnya mengelus tenggorokanmu yang kering dan pita suaramu yang parau. Kamu merasa nyaman namun ada kalanya gundah. Saat keyakinanmu tak mencapai bukit yang ingin kamu daki, dan kemampuanmu hanya sebatas melangkah.

Kamu sedikit merasa terpuaskan untuk itu, kamu tersenyum ketir, matamu berair, separuh lukamu telah mengering dan separuhnya masih membasah di atas sandaran yang kamu tumpangi.

Kamu membaca lagi hatimu, menelisir dan menerjemah segala sesak di persengalan gulana. Kamu akhirnya tidak lagi menjadi datar, namun telah melelah pada goresan yang kesekian ribuan kali.

Kamu telah lama sadar, bahwa segala yang terbentuk di bumi tidak menjadi sia-sia, namun kamu berpaling pada sesuatu yang nyata dan memilih untuk meniduri mimpi indahmu.

Hingga pada suatu pagi, kamu bangun kesiangan. Tergesa-gesa kamu membereskan peralatanmu, dan membawanya pada satu rangkulan di pundakmu. Kuas, cat, dan lukisanmu. Tidak tertinggal untuk ketiganya. Kamu memperlakukannya seperti anakmu sendiri. Memandikan, meninabobokan, bahkan menyusui umpamanya.

Berjalanlah kamu pada setapak yang diselingi taman. Sesungging senyum mengulum di bibirmu, memerah, meski tidak terlalu berseri namun tidak juga suram. Matamu sedikit sembab bekas semalam. Menangis lantaran takdirmu yang harus kamu terima dengan lapang dada, hingga semalaman kamu tertidur di lantai studio, mengelus lukisanmu dengan kuku-kuku jarimu yang pucat, mengantarkanmu pada mimpi yang menenangkan, dimana segalanya telah berwarna jingga. Dinding-dinding yang berwarna jingga, lantai yang berwarna jingga, bahkan rambutmu berwarna jingga. ”Apakah ini jingga yang kucari?” katamu dalam mimpi. Lalu pada mimpimu, kamu temukan pelangi. Pelangi dengan tujuh warna gradasi. Dari jingga muda hingga jingga tua. Lama kamu memandang, meresapnya pada matamu yang diam. ”Benarlah ini jingga yang kucari!” Katamu kembali. Lalu tiba-tiba kamu melihat lukisanmu melayang diatas ubun-ubunmu, lukisan yang kamu raba sampai habis daya matamu membuka menahan kantuk. Kepalamu menengadah, lukisanmu tersenyum. Lukisan yang telah kamu ramu sedemikian rupa pada perjalanan siang dan malam. Dan Pelangi Jingga yang kamu lihat tadi telah meleleh secara perlahan di atas lukisanmu.

Kamu terbangun seketika, merapikan rambutmu dan mengucak-ngucak mata. Bergegas memulai perjalananmu lagi dengan sepaket perlengkapanmu. termasuk lukisanmu yang tergeletak di pojok studio, dan telah kamu bungkus secara apik kemudian kamu rangkul di bahumu. Kini telah berbeda pandanganmu. Untuk sekali dalam hidupmu kamu merasakan kelegaan yang luar biasa, ada lautan rasa yang diporakporandakan oleh gelombang kebahagiaan. Lukisan itu telah menempati ruang pada makna yang begitu dalam. Ini adalah bagian pengorbanan yang kamu lakukan sepenuh hati. Ada sesuatu yang kamu berikan tanpa pamrih.

Kemudian kamu mulai perjalanmu menuju ke sebuah rumah di pinggir kota. Rumah berpagar bata merah dan tembok dengan cat yang masih kemilau warnanya. Kamu masuki pekarangan rumah itu, berjalan diantara rerumputan hijau yang seolah semuanya menyambut hangat kedatangan kamu dan lukisanmu. Kamu ketuk pintunya yang berwarna coklat tua, tidak lama kemudian seseorang membukakan pintu. Seorang wanita, yang juga sahabatmu. Persahabatan yang telah mengikat kalian, ibarat sepasang pengantin yang keduanya wanita. Sahabat seumur hidupmu. Wanita itu tersenyum lalu memanggil lelakinya ke dalam rumah. Lelaki yang juga selama ini berdiam lama di ruang khusus pada pikiran, perasaan dan dunia lamunanmu. Lelaki yang diam-diam kamu maknai keberadaannya, yang kamu puja di setiap perayaan upacara sebelum tidur, saat sarapan, saat sikat gigi, saat naik bus, dan saat kamu merancang formula dahsyat untuk sebuah mahakarya. Kamu tidak pernah melepaskannya sedikitpun, meski kamu sadar, bahwa kamu hanya jatuh cinta sendirian.

Sesaat kemudian, mereka berdua telah berada tepat di ambang pintu. Menyambutmu dengan senyum yang paling lebar.

”Lukisan kalian telah jadi.” Katamu sembari memberikan lukisan yang kamu rangkul di bahumu kepada mereka. Sejurus, kalian membuka kain penutup lukisannya dan takjub melihat diri kalian sendiri pada kanvas yang terlumur cat. Si wanita langsung menutup mulutnya karena terkejut. Matanya berkaca-kaca. Lama kalian memandang diri kalian sendiri, lalu kembali memandangku yang masih berdiri di ambang pintu.

”Terima Kasih” Ucap lelaki itu pelan namun dalam dengan senyum yang mengembang.

Mereka adalah pasangan yang paling berbahagia saat itu. Sementara kamu.. kamu telah berhasil menjadi pemenang untuk pertandingan ini, pertandingan antara kamu dan hatimu yang telah lama terbelenggu oleh sebuah rasa yang tidak pernah kamu wujudkan keberadaannya. Tapi, setidaknya kamu bisa memberi penghargaan pada dirimu sendiri, dan mematri dalam hati bahwa akhirnya harus ada yang dilepas untuk pengantin wanitamu. Karena setangkup cat kini telah mampu melengkapkan segalanya.

###

Tidak ada komentar: