Minggu, 12 September 2010

Setangkup cat tak mampu melengkapkan segalanya (PART.2)

Seperti apa yang kamu pernah bilang, bahwa hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, termasuk pikiran dan segala alam khayalanmu tentang duniamu sendiri. Dunia yang selama ini hanya kamu yang dapat menempati. Kamu lupa bahwa yang paling utama adalah penjiwaan pada karyamu..
”Usai sudah semua yang telah kutempuh, pada satu perjalanan di sore hari, dimana aku membawa segenggam pengharapan pada tangan kananku dan seonggok kelelahan di jinjingan tangan kiriku.” katamu pada nafas yang tersengal-sengal.
Kamu berbicara sendiri.
Hmm,, tidak. Kamu bebicara pada udara abu-abu, campuran antara oksigen, nitrogen, karbon dioksida, dan kandungan jenis zat kimia lainnya.
Tapi sia-sia, karena udara bukanlah makhluk hidup yang dapat diajak bicara, ia hanya dapat menerima secara halus segala keluh kesahmu, sangat halus hingga kau merasa pundi-pundi sayapnya mengelus tenggorokanmu yang kering dan pita suaramu yang parau. Kamu merasa nyaman namun adakalanya gundah. Saat keyakinanmu tak mencapai bukit yang ingin kau daki, dan kemampuanmu hanya sebatas melangkah.
Kamu sedikit merasa terpuaskan untuk itu, kamu tersenyum ketir, matamu berair, separuh lukamu telah mengering dan separuhnya masih membasah di atas sandaran yang kamu tumpangi.
Kamu membaca lagi hatimu, menelisir dan menerjemah segala sesak di persengalan gulana. Kamu akhirnya tidak lagi menjadi datar, namun telah melelah pada goresan yang kesekian ribuan kali.
Kamu telah lama sadar, bahwa segala yang terbentuk di bumi tidak menjadi sia-sia, namun kamu berpaling pada sesuatu yang nyata dan memilih untuk meniduri mimpi indahmu.
Hingga pada suatu pagi, kamu bangun kesiangan. Tergesa-gesa kamu membereskan peralatanmu, dan membereskannya pada satu rangkulan di pundakmu. Kuas, cat, dan kanvas. Tidak tertinggal untuk ketiganya. Kamu memperlakukannya seperti anakmu sendiri. Memandikan, meninabobokan, bahkan menyusui umpamanya.
Berjalanlah kamu pada setapak yang diselingi taman. Kamu duduk diantara 2 bilah teduh dan menggelar kanvasmu, memandikan penglihatanmu pada pemandangan yang menghijau. Sesungging senyum mengulum di bibirmu, memerah, meski tidak terlalu berseri namun tidak juga suram.

Tidak ada komentar: